Dag Dig Dug Cinta Pertama

Jatuh cinta pada pandangan pertama kata orang itu biasa tapi kataku itu mengada-ada. Tertarik pada pandangan pertama sih wajar tapi kan ending-nya belum tentu jatuh cinta, bisa saja justru sebaliknya jadi benci. Aku sendiri sering tertarik pada pandangan pertama. Maklumlah jaman sekarang siapa sih yang nggak berpenampilan menor. Bukan lagi pada saat-saat tertentu seperti jaman masa muda ibuku yang mendadak menor saat hendak menghadiri kondangan, jaman sekarang ini mau buang sampah di halaman rumah pun kita masih menyempatkan diri mengelap muka, bahkan berganti busana. Katanya sih untuk menarik perhatian orang lain, terutama lawan jenis, eh tapi ada juga yang sesama jenis :D. Jadi, kalau penampilan setiap orang dimana-mana sudah ngebling ya wajar saja banyak orang yang tertarik pada pandangan pertama.

Cinta pertamaku juga berawal dari tertarik pada pandangan pertama tapi bukan tertarik pada pandangan pertama yang pertama. Mungkin yang ke ??? ah aku sudah lupa. Waktu itu kami bertemu di acara rapat persiapan pentas seni gabungan SMA-SMA sekabupaten. Dia memakai baju pramuka sama seperti peserta-peserta rapat yang lainnya termasuk juga aku. Tapi dia terlihat beda di mataku. Rambutnya yang lurus dan tipis dikuncir di belakang. Warnanya agak kemerah-merahan, cantik seperti ekor cendrawasih. Dia memakai kacamata kotak full frame menimbulkan kesan cerdas tapi agak cupu yang justru aku suka. Namun sayang seribu sayang aku tidak berani mendekatinya. Bahkan menyapa hai saja tidak.

Kata orang lagi sih kalau jodoh nggak akan kemana. Dan aku mencoba mempercayainya. Aku tidak pernah repot-repot mencari informasi tentangnya kecuali repot-repot memikirkannya. Bagaimana tidak repot kalau itu terjadi begitu saja di otakku. Seberapa pun aku merepotkan diri membungkam otakku, toh itu tidak pernah berhasil. Sampai berhari-hari pun aku masih juga selalu memikirkannya.

Mungkin nasib pas lagi mujur akhirnya aku bertemu lagi dengannya. Kali itu kejadiannya di toko buku. Sesuatu yang jarang kulakukan. Berhubung buku teks yang satu ini diwajibkan untuk dimiliki semua siswa dan semua siswa itu kecuali aku sedah memilikinya, terpaksa aku berangkat sendiri untuk membelinya. Aku menyakinkan diriku untuk berani menyapanya. “Kapan lagi? Jangan sia-siakan kesempatan yang mungkin tidak datang tiga kali Randy!” demikian batinku menyemangati.

“Hai… aku Randy. Kita pernah bertemu minggu lalu di rapat pentas seni. Mungkin kamu tidak melihatku,” sapaku sambil mengulurkan tanganku.

“Hai… Fiona. Aku melihatmu kok waktu itu,” jawabnya sambil menjabat tanganku.

Kami pun mengobrol panjang lebar sambil mencari buku yang kami perlukan. Ternyata namanya Fiona. Orangnya ramah dan enak diajak ngobrol sesuai dengan tipe cewek idamanku. Meskipun aku termasuk cowok yang begajulan tapi tidak mudah bagiku untuk mendekati cewek yang kusuka. Aku selalu gugup di depannya. Tapi kali ini benar-benar mujur. Aku mendapatkan nomor hapenya.

Semenjak itu kami rajin berhubungan. Tiap hari kami sms-an. Lama-lama bonus seratus sms gratisku pun kurang. Selain itu kami juga sering jalan bareng. Entah itu sekedar makan bareng, nonton bareng bahkan ke toko buku bareng yang merupakan hobinya.

Tiga bulan hubungan kami berjalan, aku merasa tumbuh perasaan saling suka diantara kami. Tapi aku belum berani menyatakannya. Padahal aku yakin dia sedang menungguku untuk menyatakannya. Sebagai wanita, mana mungkin dia yang memulai. Kejadian berepot-repot itu pun terulang kembali. Tiap hari aku memikirkan untuk menyatakannya. Hanya ada dua kemungkinan setelah aku mengatakannya. Pertama aku jadian dengannya yang artinya status jombloku lepas untuk pertama kalinya. Kedua, dia menolakku tapi aku yakin kami akan tetap berteman. Menurut perasaanku sih kemungkinan pertama probabilitasnya lebih besar. Tapi kenapa aku masih takut juga ya? Mungkin karena itu yang pertama. Entahlah.

Hingga suatu malam aku tak bisa tidur. Berjam-jam aku terbaring di kasurku berselubung selimut dengan mata terpejam. Tapi otakku tak mau terpejam sekejap pun. Terakhir aku mengintip jam beker di mejaku adalah pukul tiga. Setelah itu baru aku tertidur. Akibatnya segayung air disiramkan ibuku untuk membangunkanku. Katanya sudah berkali-kali diteriaki aku tak bangun juga. Namun, karena itu aku jadi tidak terlambat sekolah jadi tak perlu jalan jongkok mengelilingi lapangan tiga kali. Ibuku memang pahlawanku.

Untuk menghilangkan kantukku selama di kelas, aku meng-sms Fiona. Ini tak pernah kulakukan sebelumnya karena takut mengganggu belajarnya di sana. Tak kusangka dia membalas sms-ku. Bahkan sms balasanku dibalasnya lagi, kubalas lagi dan masih dibalasnya juga. Aku senang sekali. Entah karena aku jadi tidak ngantuk atau karena responnya pada sms-ku. Mungkin karena keduanya dengan persentasi alasan kedua yang lebih besar.

Saat ketahuan guruku dan hapeku disitanya sempat kulihat laporan terkirim sms-ku yang terakhir, bunyinya “Jam tujuh aku jemput ya, ada buku yang mau kubeli.” Aku sudah merencanakan untuk mengungkapkan isi hatiku pada perjumpaan kami nanti malam. Aku harus bersabar sebentar, menunggu jam pulang sekolah untuk tahu balasannya.

Langsung kuperiksa inbox pesanku saat kuterima hapeku. Jawabannya hanya dua huruf o dan k tanpa spasi. Begitu membaca pesan balasannya jantungku langsung dag dig dug. Aku bingung apa yang harus kelakukan untuk mempersiapkan nanti malam. Apakah rencanaku akan berhasil. Apakah semua akan berjalan lancar. Apakah ending-nya akan menyenangkan kami berdua.

Jam tujuh tepat aku tiba di depan rumahnya. Dia sudah menungguku di teras. Kami berpamitan pada Ayahnya. Langsung ke toko buku. Cuma sebentar. Aku memaksanya untuk makan bersama di tempat favorit kita. Semuanya serba tergesa-gesa secepat degup jantungku yang masih dag dig dug juga sejak sepulang sekolah tadi.

“Kenapa sih, ada yang aneh deh kayaknya?” tanyanya.

“Oh, tidak apa-apa,” jawabku.

Selanjutnya kami mengobrol seperti biasa. Aku berusaha bersikap normal dan menahan degup jantungku. Namun, hingga aku mengantarnya pulang belum keluar juga tiga kata itu dari mulutku. Ah aku memang pengecut. Sepanjang perjalanan pulang aku tak bisa berkonsentrasi mengendarai motorku. Aku terus memikirkan kebodohanku. Untung jalanan sedang sepi. Dengan selamat aku tiba di rumah. Tapi otakku masih saja di sana. Andai saja begitu yang terjadi sekarang tidak akan begini. Tidak akan dag dig dug lagi jantungku.

Tanpa pikir panjang lagi aku nekat menelepon Fiona.

“Iya, Ran?” jawabnya saat mengangkat telepon dariku.

“Fi, tadi ada yang kelupaan.”

“Oh, iyakah? apa?”

“Aku belum bilang kalau aku sayang kamu. Aku terlalu gugup. Tapi aku tak dapat menahannya lagi.” Ingin kukatakan semua yang ingin kuungkapkan tapi mulutku sudah tak sanggup lagi. Bibirku bergetar karena gugup, sepertinya suaraku pun terbata-bata. Cukup lama tak ada jawaban dari Fiona. Tak ada juga pertanyaan atau pernyataan lagi dariku.

Hingga akhirnya kudengar suaranya. “Randy serius?” pertanyaannya kupikir hanya untuk menunda jawaban iyanya saja.

“Serius Fiona.”

“Fiona juga sayang sama Randy.”

Oh My God. Ternyata jawabannya sesuai dengan perkiraanku tapi kenapa susah sekali untuk mengungkapkannya. Apa cinta pertama memang seperti ini?

Nb. Juga diposkan di kompasiana